Monday, April 19, 2010

TEORI KEBUDAYAAN DAN ILMU PENGETAHUAN BUDAYA (Dirangkum dari tulisan Masinambow)

Pengetahuan teoritis tentang kebudayaan dapat mengembangkan sikap bijaksana dalam menghadapi dan menilai kebudayaan-kebudayaan yang lain, maupun pola perilaku yang bersumber pada kebudayaan sendiri. Pengetahuan itu belum menjamin adanya kemampuan yang dapat digunakan untuk tujuan-tujuan praktis, karena antara teori dan praktek terdapat interface yang harus diteliti secara tuntas agar dengan pengetahuan dari penelitian tersebut dapat dikendalikan secara ketat. Pemahaman tentang prinsip-prinsip dan konsep-konsep dasar yang melandasi pandangan-pandangan teoritis tentang kebudayaan.
Wilhelm Dilthey (1833-1911) dan Heinrich Rickert (1863-1936) membagi ilmu pengetahuan menjadi dua, yaitu naturwissenschaften (ilmu pengetahuan alam), dan kulturwissenschaften (ilmu pengetahuan budaya). Ilmu pengetahuan alam, dalam proses penelitiannya berupaya menemukan hukum-hukum alam sebagai sumber dari fenomena alam. Sekali hukum itu ditemukan, maka ia dianggap berlaku secara universal untuk fenomena itu dan gejala-gejala yang berkaitan dengan fenomena itu tanpa kecuali. Naturwissenschaften ini berusaha mencari penjelasan (erklaren) terhadap suatu fenomena dengan pendekatan nomotetis (ilmiah dalam arti sempit).
Sedangkan ilmu pengetahuan budaya yang oleh Dilthey disebut Geisteswissenschaften (ilmu pengetahuan batin) atau oleh Rickert disebut Kulturwissenschaften berupaya mengetahui apa yang terdapat dalam diri manusia, baik sebagai makhluk individual maupun sebagai makhluk sosial. Upaya memperoleh pengetahuan berlangsung melalui empati dan simpati untuk memperoleh proses pemahaman (verstehen). Upaya ini dipengaruhi oleh aliran positivisme Auguste Comte.
Konsep teori kebudayaan dapat dilihat dari dua segi. Pertama, kebudayaan yang bersifat materialistis, yang mendefinisikan kebudayaan sebagai sistem yang merupakan hasil adaptasi pada lingkungan alam atau suatu sistem yang berfungsi untuk mempertahankan kehidupan masyarakat. Sasaran kajian cenderung dari sudut pandang positivisme atau metodologi ilmu pengetahuan alam. Kedua, konsep kebudayaan yang bersifat idealistis yang memandang semua fenomena eksternal sebagai manifestasi suatu sistem internal. Kajiannya cenderung dipengaruhi oleh prinsip-prinsip positivisme atau behaviorisme dan fenomenologi.
Namun demikian, kebudayaan adalah suatu fenomena sosial, dan tidak dapat dilepaskan dari perilaku dan tindakan warga masyarakat yang mendukung dan menghayatinya. Sebaliknya kerteraturan, pola atau konfigurasi yang tampak pada perilaku dan tindakan warga masyarakat tertentu dibandingkan perilaku dan tindakan yang lain tidak dapat dipahami tanpa dikaitkan dengan kebudayaan. Pembagian keilmuan menjadi ilmu pengetahuan budaya dan ilmu pengetahuan sosial sering menunjukkan kerancuan, sehingga kedua ilmu tersebut sering disebut sebagai human sciences (ilmu pengetahuan manusiawi) atau humanities (humaniora). Kebudayaan juga sering dikaitkan dengan peradaban (civilization).
Dari segi perolehan data untuk dianalisis, ada lima jenis data dalam ilmu pengetahuan budaya, yaitu (1) artifak/artefak yang digarap dan diolah dari bahan-bahan dalam lingkungan fisik dan hayati, (2) perilaku kinetis yang digerakkan oleh otot manusia, (3) perilaku verbal yang mewujudkan diri ke dalam dua bentuk, yaitu (4) tuturan yang terdiri atas bunyi bahasa yang dihasilkan oleh pita suara dan otot-otot dalam rongga mulut, dan (5) teks yang terdiri atas tanda-tanda visual sebagai representasi bunyi bahasa atau perilaku pada umumnya.
Maka teori kebudayaan adalah usaha untuk mengkonseptualkan kebermaknaan itu untuk memahami pertalian data dengan manusia dan kelompok manusia yang mewujudkan data itu. Dari perspektif lain, teori kebudayaan adalah usaha konseptual untuk memahami bagaimana manusia menggunakan kebudayaan untuk melangsungkan kehidupannya melalui penggarapan lingkungan alam, dan memelihara keseimbangannya dengan dunia supernatural.
Terjadinya keragaman teori kebudayaan dapat ditinjau dari perspektif perkembangan sejarah dan perspektis konseptual. Pada perspektif sejarah, keragaman muncul karena aspek-aspek tertentu darik kebudayaan dianggap belum cukup memperoleh elaborasi, sedangkan pada perspektif konseptual keragaman muncul karena pemecahan permasalahan konseptual terjadi menurut pandangan yang berbeda-beda. Untuk memahami kebudayaan, kita harus memahami prinsip-prinsip dasarnya. Saussure merumuskan tiga prinsip penting dalam memahami kebudayaan:
1. Tanda (dalam bahasa) terdiri atas yang menandai (significant, signifier, penanda) dan yang ditandai (signifie, signified, petanda). Penanda adalah citra bunyi sedangkan petanda adalah gagasan atau konsep.
2. Gagasan penting yang berhubungan dengan tanda menurut Saussure adalah tidak adanya acuan ke realitas objektif. Tanda tidak mempunyai nomenclature. Ada dua cara untuk memahami makna. Pertama, makna tanda ditentukan oleh pertalian antara satu tanda dengan semua tanda lainnya yang digunakan. Kedua, makna tanda karena merupakan unsur dari batin manusia atau terekam sebagai kode dalam ingatan manusia.
3. Permasalahan yang selalu kembali dalam mengkaji masyarakat dan kebudayaan adalah hubungan antara individu dan masyarakat. Untuk bahasa ada langue (pengetahuan dan kemampuan bahasa yang bersifat kolektif, yang dihayati bersama oleh semua warga masyarakat) dan parole (perwujudan langue pada individu).
Teori-teori kebudayaan itu pada dasarnya mencerminkan aliran-aliran intelektual yang secara dominan berpengaruh pada masa-masa tertentu dan merupakan paradigm utama yang dianut oleh para pemikir dan para praktisi bidang-bidang ilmu yang berkembang pada masa itu. Pada masa colonial, pengkajian kebudayaan dan masyarakat Indonesia lebih banyak bertujuan untuk menemukan asal-usul berbagai aspek kebudayaan, seperti exogamy, incest taboo, kawin lari, dan mas kawin.
Pascastrukturalisme, pandangan Saussure sama sekali tidak mempunyai akar dalam realitas. Menurutnya, tanda terdiri atas penanda (signifier) dan petanda (signified). Yang kedua-duanya tidak memiliki realitas yang konkret, karena merupakan unit-unit mental. Ciri pokok modernitas yang menjadi sasaran penolakan para arsitek penganut pascamodernitas adalah rasionalitas; yang diragukannya adalah prinsip bahwa dengan rasionalitas dan pragmatisme diperoleh kemampuan untuk membangun gedung-gedung yang lambat laun berpengaruh baik pada kesejahteraan manusia.
Komentar:
Mempelajari teori kebudayaan bertujuan untuk memahami prinsip-prinsip konseptual, yang melandasi disiplin-disiplin ilmiah yang dicakupi oleh bidang tersebut. Teori kebudayaan seringkali dikaitkan dengan ilmu pengetahuan budaya, ilmu pengetahuan sosial, dan humaniora. Pengaruh possitivisme terutama tampak pada sejumlah disiplin dalam bidang ilmu pengetahuan sosial maupun dalam bidang ilmu pengetahuan budaya. Hal ini menyebabkan terdapat kekaburan batas antara kedua bidang ilmu itu jika dipandang dari sudut metodologinya.
Mengkaji kebudayaan tidak dapat terlepas dari data yang dapat dikategorikan kedalam lima jenis, yaitu, (a) artifak, (b) perilaku kinetis yang digerakkan oleh otot manusia, (c) perilaku verbal yang mewujudkan diri ke dalam dua bentuk yaitu (d) tuturan yang terdiri atas bunyi bahasa dan (e) teks yang terdiri atas tanda-tanda visual. Semua obyek dari kajian Teori Kebudayaan memperlihatkan tata susunan atau pola keteraturan tertentu yang dijadikan dasar untuk memperlakukan hal-hal itu sebagai data yang bermakna, karena merupakan hasil kegiatan manusia sebagai mahluk yang terikat pada kelompok atau kolektiva, dan karena keterikatan itu mewujudkan kebermaknaan itu.
Jika kita bertolak dari pemikiran bahwa ilmu pengetahuan budaya mencakupi disiplin-disiplin yang mengkaji berbagai aspek dari kebudayaan, maka kita akan menemukan kesulitan. Hal ini dikarenakan konsep kebudayaan mempunyai berbagai definisi tergantung dari aliran teoritis apa yang dianut. Ada konsep kebudayaan yang bersifat materialistis, dan ada pula konsep yang bersifat idealistis. Penyebab lainnya adalah berasal dari kekaburan batas antara ilmu pengetahuan budaya dan ilmu pengetahuan sosial. Selain itu, kita juga dihadapkan pada kesukaran untuk membedakan antara kebudayaan dan masyarakat, antara sistem budaya dan sistem sosial, antara kebudayaan dan peradaban, dan sebagainya.
Terlepas dari masalah di atas, keragaman teori kebudayaan ini dapat ditinjau dari dua perspektif, yaitu perspektif perkembangan sejarah dan perspektif konseptual.

Monday, October 26, 2009

From Post-Industrial to Post-Modern Society: New Theories of the Contemporary World

From Post-Industrial to Post-Modern Society: New Theories of the Contemporary World

Kumar, Krishan
Blackwell Publishers, Oxford
2005

1405114290

Cover of bookThe second edition of Kumar's book includes a new chapter (Chapter 1) which analyses whether the theories discussed – information society (Chapter 3), post-Fordism (Chapter 4) and post-modernity (Chapters 5 and 6) – are still valid, ten years later, given that the debate now centres on globalization and alternative modernities.

The information society is distinguished by rapid and constant advances in information and communication systems. The greater availability of information and the opportunities offered by the new technologies change relations in terms of space and time, both of which are compressed by the availability of information everywhere in real time. Moreover the knowledge is a key resource. Kumar's analysis stresses the transition to a home-centred society, where consumption increasingly takes place at home: consider, with regard to entertainment, the opportunities offered by satellite or cable television, by VHS (now by DVD), or other activities like home banking and e-commerce. The move to a home-centred society highlights one of the main features of information technologies: their capacity to dismantle the centralized structures of industrial society. Of great interest is Kumar's observation that the information society is a private or privatized society distinguished by the crisis of public life.

For Kumar, globalization and informatization are closely connected. Emblematic are the three books by Castells entitled The Information Age. The re-definition of time and space are two distinctive features of both. More problematic is the link between Post-Fordism and globalisation. Post-Fordism analyses the changes that have taken place in the capitalist economy since the 1970s, when crisis hit the mass production of standardized goods whose most efficient organizational form was the large company. The aim of organizational change has been to achieve greater flexibility. This has led to the rediscovery of small enterprises able efficiently to produce differentiated goods in small batches. Post-Fordism comprises various theoretical approaches: primarily, analysis of the 'Third Italy', the central and north-eastern regions of Italy with numerous small firms specialized mainly in traditional sectors (textiles, clothing, footwear, etc.). Another theory is that of flexible specialization (Piore and Sabel), which emphasises the opportunities offered by the new technologies to recover crafts-based forms of production as alternatives to large-scale industry. There is then the theory propounded by the English Marxists that goes by the name of 'New Times'. This wide-ranging analysis considers changes not only in the economy but also in politics (for example, the fragmentation of the social classes, the crisis of the mass political parties) and in culture (for example, the rise of individualism). With the advent of globalization, the concept of post-Fordism has been partly set aside. For Kumar it is the victim of its own success: such is the consensus on the changes that have taken place with post-Fordism that almost no reference is now made to the original analyses. This is an aspect that should have been explored more deeply.

Finally, Kumar shifts his attention to culture and analyses the theory of post-modernity. The surprising and interesting feature of these chapters is their ability to move among different disciplinary fields: not only sociology but also art, architecture, philosophy and literature. Put briefly, post-modernity is characterized by the crisis of the great narratives of modernity: trust in history and progress, in reason, in science and industrialization. But for Kumar the concept itself of post-modernity is not clearly defined, and there is no lack of controversy between post-modernists and modernists who stress the continuity of the current time. Globalization has generated debate on alternative modernities and multiple modernities. The question is whether modernity relates to Western society and modernization to Westernization, or whether different modernities have developed in different contexts (Asiatic modernity, etc.). The differences between modernity and post-modernity attenuate, and the post-modern contributes to reflection on modernity and its features and peculiarities.

The great merit of Kumar's book is that it furnishes a quite detailed panorama – despite the broadness of its theme – of most recent theories on contemporary society. It tends to take the diversity of approaches and their assumptions for granted and does not explore the differences among them and within them. A curious feature of Kumar's book is that, although it considers each of the theories proposed useful in explanation of contemporary society, it does not regard current changes as marking the transition to a new kind of society.

Thursday, June 18, 2009

Target dan Hidup Lama

Orang yang memiliki target dalam hidup berpeluang lebih besar untuk hidup lebih lama. Itulah kesimpulan Patricia Boyle, ahli neuropsikologi di Rush Alzheimer's Disease Center, Chocago, AS, dalam studinya. Target itu pun tidak perlu muluk-muluk. "Ini bisa apa saja, dari ingin mencapai suatu cita-cita, mencapai sesuati dalam organisasi relawan, atau bahkan hanya membaca sejumlah buku," ungkap Boyle.
Tim Boyle meneliti 1.238 orang berusia rata-rata 78 tahun yang semuanya bebas dari demensia, gejala-gejala gangguan pada otak. Di awal studi, subjek penelitian menjawab sejumlah pertanyaan menyangkut tujuan hidup. Hasilnya, ditemukan skor rata-rata pada evaluasi kesadaran akan tujuan adalah 3,7 dari total 5. Ketika dilakukan perbandingan, Boyle menemukan mereka yang memiliki kesadaran akan tujuan hidup lebih tinggi mempunyai risiko meninggal selama periode follow-up lebih kecil ketimbang mereka dengan kesadaran akan tujuan hidup yang rendah.
"Bila anda menemukan tujuan dalam hidup, bila anda berpikir hidup anda bermakna, dan bila anda memiliki perilaku yang digerakkan oleh cita-cita, anda berpeluang hidup lebih lama," kata Boyle.*

*HealthDay

Thursday, June 11, 2009

Panjang Jari Ungkap Bakat Anak

Anak laki-laki yang jari manisnya lebih panjang ketimbang jari telunjuk bisa berlari lebih cepat, ungkap penelitian terbaru dari Universitas Southampton. Para peneliti melakukan studi terhadap 241 anak laki-laki berusia 10-17 tahun pada kompetisi melihat bakat di Qatar. Mereka yang memiliki jari manis panjang selalu terdepan dalam setiap pertandingan lari cepat yang jaraknya 50 meter. "Keunggulan yang mereka miliki jelas terlihat setelah dimulainya lari cepat tersebut," kata John Manning, peneliti dari Universitas Southampton yang memimpin penelitian.
Penelitian itu juga mengungkapkan panjang jari tangan dapat memprediksi sifat agresif. Selain itu, anak-anak yang jari manisnya lebih panjang ketimbang telunjuk, nilai matematikanya lebih baik daripada nilai bahasanya. Sebaliknya, yang telunjuknya lebih panjang, nilai bahasanya lebih tinggi daripada matematikanya. *


* Livescience.com

Wednesday, June 3, 2009

Peter Carey

Peter Carey lahir di Rangoon, Birma, 30 April 1948. Ia menempuh pendidikan di Winchester College dan Universitas Oxford, keduanya di Inggris. Setelah menyelesaikan sarjana muda (BA) tahun 1969, selama setahun Peter mengikuti pendidikan pascasarjana di Universitas Cornell, AS. Di sinilah, untuk pertama kalinya ia menaruh minat pada sejarah Indonesia, khususnya sejarah perang Jawa.
Peter datang ke Indonesia untuk pertama kalinya pada 1970. Ia pernah tinggal tiga tahun di Jakarta dan Yogyakarta (1971-1973 dan 1976-1977) terutama untuk mengumpulkan data yang tersimpan di Arsip Nasional RI. Bahan ini pulalah yang kemudian digunakan untuk menyusun tesisnya mengenai Pangeran Diponegoro dan asal-usul perang Jawa.
Setelah meraih gelar Ph.D., 1975 Peter bekerja di Universitas Oxford, Inggris. Mula-mula sebagai pembantu riset di Magdalen College, kemudian sejak 1979 sebagai dosen sejarah modern di Trinity College.
Tahun 1986, sementara menjabat Direktur Pusat Studi Asia di Universitas Oxford, Peter juga membuat biografi Dipanegara (Diponegoro) yang diterbitkan di Leiden, Belanda. Ia menikah dengan seorang wanita Jawa dari Surakarta (Mangkunegaran) dan dianugerahi dua anak lelaki.

Tuesday, June 2, 2009

Astabratha

Astabratha

Sebagai etnik terbesar, Jawa memiliki konsep tersendiri tentang kepemimpinan yang seharusnya. Konsep itu disebut Astabratha, yang menilai pemimpin antara lain harus memiliki ambek adil paramarta atau watak adil merata tanpa pilih kasih (Ki Kasidi Hadiprayitno, 2004). Secara rini konsep ini terurai dalam delapan (asta) watak, yakni: bumi, api, air, angin, angkasa, matahri, bulan, dan bintang atau dalam Bahasa Jawa disebut bumi, geni, banyu, angin, langit, surya, candra, dan kartika.
Watak bumi yang harus dimiliki seorang pemimpin mendorong dirinya untuk selalu memberi kepada sesama. Ini berdasarkan analog bahwa bumi merupakan tempat untuk tumbuh berbagai tumbuhan yang berbuah dan berguna bagi umat manusia.
Geni atau api. Pemimpin harus memiliki sifat api, karena api adalah energi, bukan materi. Api sanggup membakar materi apa saja menjadi musnah. Namun, api juga bisa mematangkan apa saja. Api dalam konteks ini bukan dalam pengertian yang destruktif, melainkan konstruktif. Semangat api yang konstruktif yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin, antara lain adalah kesanggupan atau keberanian untuk membakar atau melenyapkan hal-hal yang menghambat dinamika kehidupan, misalnya sifat angkara murka, rakus, keji, korup, merusak, dan lainnya.
Air atau banyu adalah watak yang menggambarkan pemimpin harus selalu mengalir dinamis dan memiliki watak rendah hati, andhap asor dan santun, tidak sombong, tidak arogan. Sifat mengalir juga bisa diartikan bahwa pemimpin harus mampu mendistribusikan kekuasaannya agar tidak menumpuk/menggumpal yang merangsang untuk korupsi. Selain itu, seperti air yang selalu menunjukkan permukaan yang rata, pemimpin harus adil dalam menjalankan kebijakan terkait hajat hidup rakyatnya.
Watak angin atau udara, watak yang memberikan hak hidup kepada masyarakat. Hak hidup, antara lain meliputi hak untuk mendapatkan kehidupan yang layak (sandang, pangan, papan, dan kesehatan), mengembangkan diri, mendapatkan sumber kehidupan (pekerjaan), berpendapat dan berserikat (demokrasi), dan mengembangkan kebudayaan.
Surya atau matahari adalah watak yang mamapu menjadi penerang bagi kehidupan sekaligus menjadi pemberi energi kehidupan masyarakat.
Watak bulan/candra. Seabagaimana bulan yang memiliki kelembutan menentramkan, pemimpin yang bijak selalu memberikan rasa tentram dan menjadi sinar dalam kegelapan. Ia harus mampu memimpin dengan berbagai kearifan sekaligus visioner.
Watak bintang/kartika. Sebagaimana bintang menjadi panduan para musafir dan nelayan, pemimpin harus mampu menjadi orientasi (panutan) sekaligus mampu menyelami perasaan masyarakat.
Watak langit/angkasa. Dengan watak ini, pemimpin pun harus memiliki keluasan hati, perasaan, dan pikiran dalam menghadapi berbagai persoalan bangsa dan negara.

Pemetaan Ideologi Masjid-masjid di DKI Jakarta

Pemetaan Ideologi Masjid-masjid di DKI Jakarta / Peneliti: Ridwan al-Makassary, dkk. Jakarta: CSRC UIN Syarif Hidayatullah, 2009.

Buku ini merupakan hasil riset yang dilakukan oleh Tim Peneliti CSRC UIN Syarif Hidayatullah Jakarta terhadap masjid-masjid yang ada di wilayah DKI Jakarta dengan metode survei dan wawancara mendalam (indepth interview). Penelitian ini bertujuan untk mengetahui, memahami dan menganalisis bagaimana praktik pengajaran keagamaan yang dilaksanakan di masjid. Selain itu, untuk mengetahui bagaimana persepsi takmir masjid mengenai gagasan sistem pemerintahan, formalisasi syari'at Islam, jihad, kesetaraan gender (gender equity), dan pluralisme.
Penelitian ini menyimpulkan bahwa mayoritas masjid di DKI Jakarta masih menyuarakan gagasan dan pemikiran Islam moderat. Ini tercermin dari pandangan mayoritas takmir masjid yang moderat terhadap lima isu yaitu: sistem pemerintahan, formalisasi syariat Islam, jihad, kesetaraan gender, dan pluralisme. Selain itu, praktik pengajaran keagamaan di masjid DKI Jakarta yang mayoritasnya masih mencerminkan wawasan Islam moderat. Meskipun demikian, dalam jumlah yang kecil terdapat kecenderungan penguatan gagasan dan pemikiran Islam radikal. Misalnya, sebagian kecil takmir masjid setuju dengan gagasan pendirian khilafah Islamiyah dan negara Islam, dan juga dalam beberapa praktik pengajaran keagamaan adanya buku, majalah, buletin keagamaan yang menginspirasikan Islam radikal dapat dengan mudah dijumpai di masjid dan untuk beberapa tingkatan menjadi bacaan bagi para takmir dan jamaah masjid.