Thursday, June 18, 2009

Target dan Hidup Lama

Orang yang memiliki target dalam hidup berpeluang lebih besar untuk hidup lebih lama. Itulah kesimpulan Patricia Boyle, ahli neuropsikologi di Rush Alzheimer's Disease Center, Chocago, AS, dalam studinya. Target itu pun tidak perlu muluk-muluk. "Ini bisa apa saja, dari ingin mencapai suatu cita-cita, mencapai sesuati dalam organisasi relawan, atau bahkan hanya membaca sejumlah buku," ungkap Boyle.
Tim Boyle meneliti 1.238 orang berusia rata-rata 78 tahun yang semuanya bebas dari demensia, gejala-gejala gangguan pada otak. Di awal studi, subjek penelitian menjawab sejumlah pertanyaan menyangkut tujuan hidup. Hasilnya, ditemukan skor rata-rata pada evaluasi kesadaran akan tujuan adalah 3,7 dari total 5. Ketika dilakukan perbandingan, Boyle menemukan mereka yang memiliki kesadaran akan tujuan hidup lebih tinggi mempunyai risiko meninggal selama periode follow-up lebih kecil ketimbang mereka dengan kesadaran akan tujuan hidup yang rendah.
"Bila anda menemukan tujuan dalam hidup, bila anda berpikir hidup anda bermakna, dan bila anda memiliki perilaku yang digerakkan oleh cita-cita, anda berpeluang hidup lebih lama," kata Boyle.*

*HealthDay

Thursday, June 11, 2009

Panjang Jari Ungkap Bakat Anak

Anak laki-laki yang jari manisnya lebih panjang ketimbang jari telunjuk bisa berlari lebih cepat, ungkap penelitian terbaru dari Universitas Southampton. Para peneliti melakukan studi terhadap 241 anak laki-laki berusia 10-17 tahun pada kompetisi melihat bakat di Qatar. Mereka yang memiliki jari manis panjang selalu terdepan dalam setiap pertandingan lari cepat yang jaraknya 50 meter. "Keunggulan yang mereka miliki jelas terlihat setelah dimulainya lari cepat tersebut," kata John Manning, peneliti dari Universitas Southampton yang memimpin penelitian.
Penelitian itu juga mengungkapkan panjang jari tangan dapat memprediksi sifat agresif. Selain itu, anak-anak yang jari manisnya lebih panjang ketimbang telunjuk, nilai matematikanya lebih baik daripada nilai bahasanya. Sebaliknya, yang telunjuknya lebih panjang, nilai bahasanya lebih tinggi daripada matematikanya. *


* Livescience.com

Wednesday, June 3, 2009

Peter Carey

Peter Carey lahir di Rangoon, Birma, 30 April 1948. Ia menempuh pendidikan di Winchester College dan Universitas Oxford, keduanya di Inggris. Setelah menyelesaikan sarjana muda (BA) tahun 1969, selama setahun Peter mengikuti pendidikan pascasarjana di Universitas Cornell, AS. Di sinilah, untuk pertama kalinya ia menaruh minat pada sejarah Indonesia, khususnya sejarah perang Jawa.
Peter datang ke Indonesia untuk pertama kalinya pada 1970. Ia pernah tinggal tiga tahun di Jakarta dan Yogyakarta (1971-1973 dan 1976-1977) terutama untuk mengumpulkan data yang tersimpan di Arsip Nasional RI. Bahan ini pulalah yang kemudian digunakan untuk menyusun tesisnya mengenai Pangeran Diponegoro dan asal-usul perang Jawa.
Setelah meraih gelar Ph.D., 1975 Peter bekerja di Universitas Oxford, Inggris. Mula-mula sebagai pembantu riset di Magdalen College, kemudian sejak 1979 sebagai dosen sejarah modern di Trinity College.
Tahun 1986, sementara menjabat Direktur Pusat Studi Asia di Universitas Oxford, Peter juga membuat biografi Dipanegara (Diponegoro) yang diterbitkan di Leiden, Belanda. Ia menikah dengan seorang wanita Jawa dari Surakarta (Mangkunegaran) dan dianugerahi dua anak lelaki.

Tuesday, June 2, 2009

Astabratha

Astabratha

Sebagai etnik terbesar, Jawa memiliki konsep tersendiri tentang kepemimpinan yang seharusnya. Konsep itu disebut Astabratha, yang menilai pemimpin antara lain harus memiliki ambek adil paramarta atau watak adil merata tanpa pilih kasih (Ki Kasidi Hadiprayitno, 2004). Secara rini konsep ini terurai dalam delapan (asta) watak, yakni: bumi, api, air, angin, angkasa, matahri, bulan, dan bintang atau dalam Bahasa Jawa disebut bumi, geni, banyu, angin, langit, surya, candra, dan kartika.
Watak bumi yang harus dimiliki seorang pemimpin mendorong dirinya untuk selalu memberi kepada sesama. Ini berdasarkan analog bahwa bumi merupakan tempat untuk tumbuh berbagai tumbuhan yang berbuah dan berguna bagi umat manusia.
Geni atau api. Pemimpin harus memiliki sifat api, karena api adalah energi, bukan materi. Api sanggup membakar materi apa saja menjadi musnah. Namun, api juga bisa mematangkan apa saja. Api dalam konteks ini bukan dalam pengertian yang destruktif, melainkan konstruktif. Semangat api yang konstruktif yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin, antara lain adalah kesanggupan atau keberanian untuk membakar atau melenyapkan hal-hal yang menghambat dinamika kehidupan, misalnya sifat angkara murka, rakus, keji, korup, merusak, dan lainnya.
Air atau banyu adalah watak yang menggambarkan pemimpin harus selalu mengalir dinamis dan memiliki watak rendah hati, andhap asor dan santun, tidak sombong, tidak arogan. Sifat mengalir juga bisa diartikan bahwa pemimpin harus mampu mendistribusikan kekuasaannya agar tidak menumpuk/menggumpal yang merangsang untuk korupsi. Selain itu, seperti air yang selalu menunjukkan permukaan yang rata, pemimpin harus adil dalam menjalankan kebijakan terkait hajat hidup rakyatnya.
Watak angin atau udara, watak yang memberikan hak hidup kepada masyarakat. Hak hidup, antara lain meliputi hak untuk mendapatkan kehidupan yang layak (sandang, pangan, papan, dan kesehatan), mengembangkan diri, mendapatkan sumber kehidupan (pekerjaan), berpendapat dan berserikat (demokrasi), dan mengembangkan kebudayaan.
Surya atau matahari adalah watak yang mamapu menjadi penerang bagi kehidupan sekaligus menjadi pemberi energi kehidupan masyarakat.
Watak bulan/candra. Seabagaimana bulan yang memiliki kelembutan menentramkan, pemimpin yang bijak selalu memberikan rasa tentram dan menjadi sinar dalam kegelapan. Ia harus mampu memimpin dengan berbagai kearifan sekaligus visioner.
Watak bintang/kartika. Sebagaimana bintang menjadi panduan para musafir dan nelayan, pemimpin harus mampu menjadi orientasi (panutan) sekaligus mampu menyelami perasaan masyarakat.
Watak langit/angkasa. Dengan watak ini, pemimpin pun harus memiliki keluasan hati, perasaan, dan pikiran dalam menghadapi berbagai persoalan bangsa dan negara.

Pemetaan Ideologi Masjid-masjid di DKI Jakarta

Pemetaan Ideologi Masjid-masjid di DKI Jakarta / Peneliti: Ridwan al-Makassary, dkk. Jakarta: CSRC UIN Syarif Hidayatullah, 2009.

Buku ini merupakan hasil riset yang dilakukan oleh Tim Peneliti CSRC UIN Syarif Hidayatullah Jakarta terhadap masjid-masjid yang ada di wilayah DKI Jakarta dengan metode survei dan wawancara mendalam (indepth interview). Penelitian ini bertujuan untk mengetahui, memahami dan menganalisis bagaimana praktik pengajaran keagamaan yang dilaksanakan di masjid. Selain itu, untuk mengetahui bagaimana persepsi takmir masjid mengenai gagasan sistem pemerintahan, formalisasi syari'at Islam, jihad, kesetaraan gender (gender equity), dan pluralisme.
Penelitian ini menyimpulkan bahwa mayoritas masjid di DKI Jakarta masih menyuarakan gagasan dan pemikiran Islam moderat. Ini tercermin dari pandangan mayoritas takmir masjid yang moderat terhadap lima isu yaitu: sistem pemerintahan, formalisasi syariat Islam, jihad, kesetaraan gender, dan pluralisme. Selain itu, praktik pengajaran keagamaan di masjid DKI Jakarta yang mayoritasnya masih mencerminkan wawasan Islam moderat. Meskipun demikian, dalam jumlah yang kecil terdapat kecenderungan penguatan gagasan dan pemikiran Islam radikal. Misalnya, sebagian kecil takmir masjid setuju dengan gagasan pendirian khilafah Islamiyah dan negara Islam, dan juga dalam beberapa praktik pengajaran keagamaan adanya buku, majalah, buletin keagamaan yang menginspirasikan Islam radikal dapat dengan mudah dijumpai di masjid dan untuk beberapa tingkatan menjadi bacaan bagi para takmir dan jamaah masjid.